Monthly Archives: Februari 2013

ENTREPRENEURSHIP TO ANSWER PROBLEMS OF STREET CHILDREN

By: Antonius Tanan – President of UCEC

 The main strategy to fight unemployment and poverty as well as to create a massive social welfare lies on the number and speed of Indonesia to have entrepreneursall over the country. Developing new small and medium enterprises (SMEs) is not always about giving soft loan as it will be useless ifthe loan givento a non-entrepreneur. As quoted below, we should consider a breakthrough solution in developing SMEs in Indonesia:

Bankruptcy faced by 1,470,692 small and medium level of micro enterprises in four banks, costs 17.9 trillion in total. Those banks are PT Bank Negara Indonesia Tbk, PT Bank MandiriTbk, PT Bank Rakyat Indonesia Tbk and PT Bank Tabungan Negara (BTN). [Portal Nasional-www.indonesia.go.id, October 1, 2007).

In this context, how do we combine strategies of developing entrepreneurs with conventional ones? How do we manage human empowerment strategies which are supported by infrastructure plus financial policy and stimulus? Let’s take a look at this model.

What does this mean?

  1. The main focus is to empower as many people as possible to be entrepreneurs through education and training.
  2. Policies, infrastructures and programs are generated to build new entrepreneurs,and to support those prepared and ready to grow entrepreneurs.
  3. Financial support or stimuli are given to entrepreneurs who are ready to compete in market.

 

Teaching Entrepreneurship to Street Children

Street children obviously need to be taught entrepreneurship because it will empower them in aiding themselves financially. They will learn how to invent a work for him/herself, thus pull them out of the street to be a decent citizen—breaking the vicious circle that has been tying them the whole life in the “work” of singing, begging or even threatening only to ask for money. These ways of making money have grown a conviction that their works on the street are more beneficial than go to school as studying means no money received, let alone their parents’ demand.

This phenomenon frames the struggles of SahabatAnakto fulfill street children’s rights in Jabodetabek. In 1997, volunteers of this organization have been escorting the street children, especially in education. It is an honor for UniversitasCiputra Entrepreneurship Center (UCEC) to be SahabatAnak’scompanion in sharing and developing entrepreneurship programs based on experiential learning for the street kids. The crucial objective of this programis to inspire street children with this idea: as long as they innovate and develop network, there are many ways to earn a living other than their “traditional”work.

Along with the spirit to innovate ways of resolving poverty, SahabatAnak launched a campaign titled KADO (KaryaAnak Indonesia).Promoting awareness that every street child is precious and able to invent, this campaign is extracted from child’s right to participate in development. KADO will be executed in an entrepreneurship project; a group consisting of 2-3 street kids and 2 volunteers as their mentors. It is expected that 500 street children and 250 volunteers be involved in this project, where UCEC will act as program consultant and trainer. Every group will be provided with IDR 50,000 in capital and challenged to do innovation in inventing valued products, actions, or exhibitions to be sold. This two-month project demonstrates the above empowerment model practically. It starts with entrepreneurship training (people empowerment) for volunteers of KADO. They then attend the children in a direct implementation ofentrepreneurship (supporting environment), with the capital for each group (financial stimulus) as investment for empowerment and program.

This activity proposes to arouse spirit of entrepreneurship towards marginal children.KADO will be their training ground in which they may explore market with innovative ways to gain possible profit—to make money not by begging or singing on the street, but with independence and creativity inside themselves. Failure is possible;nevertheless, proficiency to innovate shaped through patience and endurance along the process.

Now we see the chance to knock down the vicious circle. First, this activity has an excellent potential to change the children’s minds in terms of resolving poverty through innovation. Second, emerging role-model in implementing entrepreneurshipfor street kids.This example may come from the volunteers or even kid who succeeds to be an entrepreneur through this event. Accordingly, we may notice entrepreneurship answers the problem of poverty not only related to profit, but even deeper is to empower human by renewing their minds and sharpening life skills to work hard, endure and take risk in innovation process.

It may be indescribable when the echo of “Today I must receive some money” in their mindsturns to “I can make money, and I’m proud of it!”.

 

PENDIDIKAN ENTREPRENEURSHIP SEBAGAI JALAN KELUAR UNTUK ANAK JALANAN

By: Antonius Tanan-UCEC

Strategi utama dalam memerangi pengangguran dan kemiskinan sekaligus juga membangun kesejahteraan secara massal dan serentak terletak pada seberapa banyak dan seberapa cepat kita bersama dapat memiliki manusia entrepreneur di seluruh Indonesia. Penciptaan usaha kecil dan menengah (UKM) baru tidak cukup hanya dengan memberikan bantuan kredit murah bagi usaha kecil. Karena, bila kredit murah tersebut jatuh ke pelaku yang tidak sanggup jadi manusia entrepreneur, maka upaya itu akan sia-sia. Berikut ini adalah sebuah berita dari media yang sepatutnya membuat kita merenungkan kembali terobosan baru dalam mengembangkan UKM baru di Indonesia.

Kredit macet 1.470.692 usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) di empat bank BMUN senilai Rp17,9 triliun. Empat bank BUMN itu adalah PT Bank Negara Indonesia Tbk, PT Bank Mandiri Tbk, PT Bank Rakyat Indonesia Tbk, dan PT Bank Tabungan Negara (BTN). (Berita tanggal 01 Oktober 2007 Portal Nasional-www.indonesia.go.id)

Bagaimana kita menyusun dan memadukan strategi pembangunan manusia entrepreneur dengan berbagai strategi lain yang biasa dilakukan? Bagaimana kita menyusun strategi pemberdayaan sumber daya manusia (SDM) dengan dukungan fasilitas fisik, kebijakan serta stimulus finansial?

Mari perhatikan model berikut ini:

Image

APAKAH ARTINYA?

  1. Fokus utama adalah memberdayakan sebanyak mungkin anak bangsa sehingga sanggup menjadi manusia entrepreneur melalui pendidikan dan pelatihan.
  2. Kebijakan, fasilitas dan program dibentuk dengan tujuan membentuk manusia entrepreneur yang baru dan memfasilitasi manusia entrepreneur yang telah belajar dan siap untuk bertumbuh.
  3. Dukungan finansial atau stimulus finansial diberikan kepada manusia entrepreneur yang sudah siap masuk ke dalam pasar.

Pendikan Entrepreneurship untuk Anak Jalanan

Komunitas anak jalanan jelas sangat membutuhkan pendidikan entrepreneurship, karena melalui pendidikan tersebut, mereka akan mampu menciptakan pekerjaan bagi diri sendiri yang akan menolong mereka keluar dari “jalanan” dan menjadi warga masyarakat yang terhormat. Mereka harus diberdayakan untuk sanggup menolong diri sendiri sehingga dapat keluar dari lingkaran setan (vicious circle) pekerjaan “tradisional” mereka yaitu mengamen, mengemis, atau bahkan menodong demi mendapatkan uang. Kebiasaan mendapatkan uang dengan cara di atas secara tak sengaja telah menanamkan kepada anak-anak tersebut bahwa kegiatan mereka di jalan lebih menguntungkan daripada bersekolah, karena belajar berarti tidak menerima uang. Belum lagi tuntutan yang tinggi dari orangtua mereka untuk mendapatkan uang.

Kondisi inilah yang melatarbelakangi Sahabat Anak untuk memperjuangkan hak-hak anak jalanan di Jabodetabek, khususnya dalam hal pendidikan. Kelompok sukarelawan Sahabat Anak terus berjuang dalam mendampingi anak-anak marjinal sejak tahun 1997. UCEC (Universitas Ciputra Entrepreneurship Center) merasa terhormat dapat mendampingi Sahabat Anak untuk mengembangkan program-program pembelajaran entrepreneurship berdasarkan pengalaman langsung (experiential learning) untuk anak-anak jalanan. Tujuan utama pembelajaran atau pelatihan ini adalah menginspirasi anak jalanan bahwa uang bisa didapat tanpa harus melakukan pekerjaan “tradisional”, asalkan mereka mau berinovasi dan berjejaring (networking).

Sejalan dengan semangat melakukan inovasi dalam menangani kemiskinan, maka tahun ini Sahabat Anak melakukan kampanye KADO (Karya Anak Indonesia) dengan tema “Aku Berharga, Aku Berkarya”.  Gagasan kampanye ini didasarkan pada hak anak untuk terlibat dalam pembangunan dan tema ini diwujudkan dalam bentuk proyek belajar entrepreneurship berkelompok. Setiap kelompok terdiri dari sekitar 2-3 anak jalanan dan 2 kakak pembimbing (relawan). Sekitar 500 anak marjinal dan 250 relawan ditargetkan akan terlibat dalam proyek ini dan UCEC akan bertindak sebagai konsultan program dan pelatih. Setiap kelompok akan mendapatkan modal Rp 50,000 dan ditantang untuk berinovasi menciptakan suatu karya berupa produk, aksi, atau pameran yang harus mampu dijual.  Program yang akan berlangsung dalam kurun waktu dua bulan ini menggambarkan contoh praktis model pemberdayaan di atas. Anak-anak marjinal diberdayakan melalui pengalaman langsung ber”entrepreneur” dengan didampingi para relawan sebagai mentor. Kegiatan ini juga menyediakan wadah atau fasilitas melalui dukungan pelatihan dan program kampanye KADO. Uang senilai Rp 50.000 untuk tiap kelompok disediakan untuk mendukung pemberdayaan dan berlangsungnya program. Jadi uang tersebut tidak dibagikan begitu saja, namun diinvestasikan untuk sebuah pengalaman belajar.

Proyek kelompok ini sendiri diharapkan dapat menjadi pencetus/motor semangat entrepreneurship bagi anak-anak marjinal tersebut. KADO akan menjadi training ground bagi anak-anak marjinal untuk mengalami secara langsung bagaimana mengeksplorasi pasar dengan kemungkinan mendapatkan keuntungan, dengan cara yang berbeda dari yang biasa dilakukan—bukan dengan mengemis atau mengamen, tetapi dengan kemandirian dan kreativitas yang ada pada dirinya. Risiko gagal selalu ada, tetapi kecakapan entrepreneur dalam berinovasi harus memiliki kesabaran dan ketahanan (endurance) melalui proses.

Di sinilah kita melihat titik terang untuk mematahkan vicious circle tadi. Pertama, kegiatan ini sangat berpotensi menjadi fondasi perubahan pola pikir anak-anak jalanan untuk berinovasi mengatasi masalah kemiskinan. Kedua, kehadiran role-model bagi anak-anak jalanan dalam penerapan semangat entrepreneurship. Teladan tersebut bisa berasal dari para relawan pendamping proyek ini dan bahkan anak jalanan yang berhasil menjadi entrepreneur melalui kampanye KADO ini. Maka, kita pun melihat entrepreneurship dapat menangani masalah kemiskinan tidak hanya dengan sekedar menghasilkan keuntungan, tetapi juga dengan pemberdayaan manusia melalui pembaharuan pola pikir dan penajaman kecakapan hidup (life skill) untuk bekerja keras, bertahan (endure), serta berani menanggung risiko dalam proses inovasi.

Betapa indahnya kelak saat gaung “Hari ini saya harus menerima uang” dalam pikiran anak-anak marjinal ini berubah menjadi: “Saya dapat menghasilkan uang dan saya bangga!”.

KADO (Karya Anak Indonesia): a Present for Indonesian Children

ImageSahabat Anak (SA), a community that cares for marginalized children welfare, on February 17, 2013 launched a campaign called KADO (Karya Anak Indonesia/Works of Indonesian Children), an activity to facilitate creativity and innovation for marginalized children in Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang and Bekasi (Jabodetabek) area The campaign will be carried throughout 2013 with theme: “I am Precious thus I Create”. The campaign is an effort to engage public to join Sahabat Anak movement in advocating children’s rights to participate Indonesia’s development.

The KADO campaign was ignited by a Dream Capsule survey to one thousand one marginalized children in 2012. The survey held during Sahabat Anak Jamboree – an annual two-day, one night camping attended by 1,000 marginalized children from Greater Jakarta area.

Dream Capsule survey results found that 55% of the children dreams of jobs and a better future. This suggests that these children wanted not only money or goods, but rather an opportunity to change their current circumstances.

“Motivation and passion are the keywords for marginalized children to achieve their dream jobs and opportunities. SA invites those who want to take part in becoming a change agent and give our young friends motivation and encouragement, said Rama Adi Putra, KADO Committee Coordinator.

The KADO campaign will be divided in two phases: a Dream Project “Me and Those Around Me” – 500 children and 250 volunteers will take part in the project – and SA Jamboree with 1,000 children and 500 volunteers.

The Dream Project “Me and those around me” is a project competition undertaken by groups in Jabodetabek area. Each group consists of ten children aged 10 to 15 years old, accompanied by five volunteers aged over 18. Each group will be given two months to create a product, an action or exhibition that benefits their surrounding community. Each group will receive Rp 50,000 as initial capital, and the group may seek sponsors to manage their projects based on the time line, budget and work plan as well as utilizing social networks.

“We want to teach these kids to be a tough generation that appreciates process instead of focusing solely on end result,” Rama said.

A total of 250 volunteers will be involved in 50 groups, equipped with inspirational knowledge of “Innovative Thinking”. Trainings will be given to volunteers to facilitate a breakthrough from the children they interact with.

KADO is a Sahabat Anak annual campaign to advocate the 1989 UN Convention on children’s right. SA has been consistently echoing annual campaigns to raise the awareness: The Walk of Love (The declaration of Children’s Rights) in 2008, Shoes for my friends in 2009, Nutrition For my friends in 2010, Come out and play, my friend in 2011 and Speak Your Dreams in 2012.

“In every campaign, we always try to involve public to come and spend their time, effort and thoughts. Because as we know, the marginalized children need more than just money and stuff, they need companions who are ready to contribute time and willing to encourage them in achieving better opportunities,” said Rama.

Image

KADO (Karya Anak Indonesia): Hadiah Dari dan Bagi Anak-Anak Indonesia

Image

Komunitas pemerhati kesejahteraan anak Sahabat Anak pada tanggal 17 Februari 2013 meresmikan kampanye KADO (Karya Anak Indonesia), sebuah ajang kreativitas dan inovasi untuk mendorong aspirasi pengembangan diri anak-anak kaum marjinal di wilayah JaBoDeTaBek. Kampanye yang akan dilakukan sepanjang tahun 2013 ini mengangkat tema: “Aku Berharga, Aku Berkarya”. Kampanye ini merupakan upaya melibatkan sebanyak mungkin masyarakat untuk melakukan  gerakan sahabat anak dalam mengadvokasi hak anak untuk berpartisipasi dalam pembangunan.

Kampanye KADO lahir dari hasil survey Kapsul Impian yang dilakukan oleh Sahabat Anak kepada seribu anak marjinal pada tahun 2012. Survey tersebut dilakukan bersamaan dengan Jambore Sahabat Anak – sebuah kegiatan tahunan berupa perkemahan dua hari satu malam yang dihadiri oleh seribu anak marjinal dari wilayah Jabodetabek.

Hasil survey Kapsul Impian menemukan bahwa 55% memimpikan pekerjaan dan masa depan yang lebih baik. Ini menunjukkan bahwa bagi anak-anak tersebut, yang diinginkan bukanlah uang atau barang semata, melainkan kesempatan untuk merubah keadaan mereka saat ini

“Motivasi dan semangat merupakan kata kunci bagi anak-anak kaum marjinal dalam meraih pekerjaan dan kesempatan yang mereka impikan. Sahabat Anak mengajak pihak yang peduli untuk ambil bagian menjadi agen perubahan yang senantiasa memberi motivasi dan semangat bagi adik-adik kami,” kata Rama Adi Putra, Ketua Panitia KADO.

Kampanye KADO akan terbagi dalam dua tahap: Proyek Impian “Aku dan Sekitarku”, yang diikuti 500 anak marjinal dan 250 sukarelawan pendamping serta Jambore Sahabat Anak dengan peserta 1.000 anak marjinal dan 500 sukarelawan pendamping.

Proyek Impian “Aku dan Sekitarku” merupakan proyek kelompok dari berbagai wilayah di JaBoDeTaBek. Masing-masing kelompok terdiri dari sepuluh anak berusia 10 hingga 15 tahun yang didampingi oleh lima sukarelawan berusia di atas 18 tahun. Setiap kelompok diberi waktu dua bulan untuk menghasilkan suatu karya berupa produk, aksi atau pameran yang memiliki manfaat bagi lingkungan. Setiap kelompok menerima modal awal sebesar Rp 50.000, dan diperbolehkan untuk mencari sponsor untuk mengelola proyek mereka berdasarkan kerangka waktu, anggaran dan rencana kerja serta menggunakan jejaring sosial yang ada selama dua bulan ke depan.

“Kami ingin mengajarkan anak-anak ini untuk menjadi generasi yang tangguh dan menghargai proses, bukan hanya berfokus pada hasil akhir semata,” kata Rama.

Sebanyak 250 sukarelawan pendamping yang terlibat dalam 50 kelompok di JaBoDeTaBek akan dibekali pengetahuan inspiratif berupa pelatihan “Cara Berpikir Inovatif”. Pelatihan ini diberikan agar para sukarelawan dapat memberi dampak luar biasa (breakthrough) bagi anak-anak yang berinteraksi dengan mereka.

KADO merupakan kampanye besar tahunan Sahabat Anak untuk  mengangkat hak-hak anak sesuai dengan Konvensi PBB tahun 1989. Sahabat Anak terus menggaungkan tema kampanye tahunan seperti: Jalan Cinta (Deklarasi Hak Anak) tahun 2008, Sepatu Untuk Sahabatku tahun 2009, Nutrisi Untuk Sahabatku tahun 2010, Bermainlah Sahabatku tahun 2011 dan Suarakan Impianmu tahun 2012.

“Dalam setiap kampanye, kami selalu melibatkan sebanyak mungkin masyarakat umum untuk ikut serta meluangkan waktu, tenaga dan pikiran. Karena seperti yang sudah kita ketahui bersama, yang dibutuhkan oleh anak-anak marjinal lebih dari sekedar uang maupun barang, melainkan sahabat yang siap meluangkan waktu serta mendorong mereka untuk meraih kesempatan hidup yang lebih baik,” kata Rama.

Image