Monthly Archives: Juli 2014

Memacu Upaya Nasional Mewujudkan Perlindungan Anak

Kejahatan terhadap anak yang terasa makin luas, baik jenis, jumlah dan daya rusaknya, membuat masyarakat terperangah atas buruknya perlindungan terhadap anak-anak Indonesia. Meski bukan satu-satunya pemicu meningkatnya perhatian publik nasional terhadap situasi dan kondisi anak Indonesia yang rentan, kasus kejahatan seksual terhadap anak di sekolah Jakarta Internasional School (JIS) telah membangkitkan amarah dan kekecewaan masyarakat secara nasional terhadap peran pemerintah, komisi negara, lembaga masyarakat yang semuanya dirasakan sangat lemah (bahkan lalai) menjalankan tugas dan peranannya. Lebih menyedihkan dan tak terduga, peristiwa kejahatan seksual tersebut terjadi dalam lingkungan pendidikan yang dikonsepsikan sebagai tempat yang aman dan nyaman bagi anak untuk mengembangkan kecerdasan, membentuk karakter dan menjalankan interaksi sosial dengan sesama anak lainnya.SA-Pic

Moment tersebut haruslah dijadikan sebagai titik tolak masuk ke dalam proses memperbaiki regulasi, kinerja dan interaksi antar institusi pemangku kepentingan perlindungan anak (PA). Akan tetapi, kita harus waspada terhadap kelaziman perilaku buruk publik di Indonesia, yaitu terlalu mudah dan terlalu cepat melupakan peristiwa penting yang sebenarnya menjadi tonggak perubahan kebijakan negara. Suasana heboh dan hingar bingar terkait dengan satu perkara, seringkali hanya berlangsung dalam satu rentang waktu yang terbatas.

Oleh karenanya, sangat penting untuk selalu mengusahakan agar issue kejahatan terhadap anak tetap menjadi agenda kerja semua elemen pemerintah dan masyarakat melalui fungsi dan peranan masing masing untuk memperoleh penyelesiaan tuntas dan parmanen yakni mereka yang berada dalam posisi sebagai Perancang Pembangunan, Pengelola Anggaran Negara, Pembuat Peraturan Perundangan, Ulama, Akademisi, Kalangan Professional di segala bidang, Aktiivis, Politisi, dsb.

Membaca konsep PA yang dirumuskan dalam UU No 23 /2002, kita mengetahui bahwa PA mencakup makna yang amat luas yaitu perlindungan terhadap anak (dalam arti fisik) dan perlindungan terhadap hak-haknya. Perlindungan ini bersifat fungsional yaitu agar anak dapat hidup, tumbuh dan berkembang serta berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabatnya. Dengan demikian, alat ukur keefektifan pelaksanaan karya PA, baik yang akan maupun yang sedang dilaksanakan/dijalankan oleh pemangku kepentingan PA adalah bahwa anak “dapat hidup, tumbuh dan berkembang”. Dengan demikian menjalankan pendidikan, memberi santunan pangan dan gizi, melatih tari, melatih olah raga, memperbaiki jalan agar anak-anak tidak terperosok pada lobang, menjaga keamanan merupakan contoh kegiatan/program PA.

Tanggung jawab pelaksanaan perlindungan anak tidak hanya pada pemerintah semata. UU 23/2002 membebankan tanggung jawab tersebut pada semua elemen negara/pemerintah dan seluruh elemen masyarakat termasuk orang tua. Keefektifan PA akan ditentukan sinergitas elemen-elemen tersebut dalam menjalankan program yang tentu saja tidak hanya mencakup keterpaduan program atau kerjasama yang rapi, melainkan adanya kesamaan visi dan komitmen yang bisa memastikan bahwa anak harus hidup, tumbuh dan berkembang. Kepastian itu penting karena, pada saatnya nanti, kondisi kehidupan sosial sangat diwarani oleh pelaksanaan PA sekarang ini. Sebagai contoh, memberi perhatian pada anak jalanan, itu dimaksudkan agar pada saatnya nanti, tidak lagi ada anak jalanan, setidaknya tidak ada anak jalanan karena orang tuanya anak jalanan. Demikian pula, memberi pendidikan, mencukupi kebutuhan hidup, membuka ruang pergaulan, memberi santunan tabungan, itu semua dimaksudkan agar anak bisa hidup, tumbuh dan berkembang sehingga bisa menjadi pribadi yang mandiri, produktif dan lugas.

Mempertimbangkan luasnya konsep PA dan betapa pentingnya sinergitas untuk memastikan berjalannya PA secara efektif maka perlu ada sosok yang mengambil posisi sebagai pioner yang mampu menganyam usaha usaha berbagai pihak menjadi usaha bersama secara nasional. Tentu bukan seseorang saja, tetapi juga bisa lembaga, organisasi sosial. Kebutuhan adanya pioner tersebut sangat dirasakan bila kita membaca realitas pelaku PA yang terkesan berkarya secara sendiri sendiri dan  lebih susah lagi jika program itu dijalankan untuk kepuasan rohani pelaksananya atau untuk selembar Rupiah.

Sebenarnya, menjalankan program PA adalah usaha mulia. Itu berkaitan dengan masa depan masyarakat secara menyeluruh. Menyimak ketentuan dalam UU 23/2002, dapat diketahui bahwa hak yang diberikan kepada anak dan kewajiban yang dibebankan kepada pemerintah, negara dan masyarakat, dimaksudkan agar anak yang kemudian akan menjadi aktor penentu dalam kehidupan sosial adalah seseorang yang tidak menjadi beban masyarakat tetapi seseorang yang mampu memberi gagasan untuk penyelesaian masalah yang terjadi dalam masyarakat.  

Maka tugas mendesak berkaitan dengan PA adalah pertama, melihat kembali seluruh aktivitas PA yang dilakukan baik secara sendiri atau bersama sama, baik secara sporadik atau sistematik untuk mengetahui orientasi pelaksasnaan kegiatan perlindungan anak. Tugas kedua adalah berkontribusi secara kritis agar perubahan UU 23/2002 yang sedang diusahakan oleh DPR tidak menghasilkan hal yang lebih buruk dari apa yang sudah diatur. Kita perlu mengajukan usul konkrit yang mengacu pada pengalaman keseharian kita. Contoh, tentang eksistensi lembaga penyeleggara PA yang dalam undang-undang lebih difokuskan pada usaha menolong anak korban kejahatan misalnya penganiayaan, kejahatan seksual, perdagangan anak dan sejenisnya. Sedangkan usaha menolong anak agar lebih cerdas, lebih mandiri, lebih sehat dan sejenisnya, sepertinya (sekali lagi sepertinya) tidak dianggap sebagai usaha PA. Padahal kecerdasan anak bisa menjadi modal menangkal terjadinya kejahatan terhadap anak. Anak cerdas akan mampu mengolah kata kata godaan berisi kebohongan.

Oleh karenanya, UU yang akan diterbitkan haruslah memastikan bahwa semua lembaga yag menjalankan kegiatan terkait dengan anak, apakah itu kegatan pedidikan, kegiatan pemberian makanan tambahan, kegiatan pelatihan keterampilan dsb, haruslah diakui sebagai Lembaga Perlindungan Anak. Pengakuan itu sangat penting terkait dengan esksistensi hukum lembaga penyelenggara Perlindungan Anak yang harus memiliki kapasitas hukum untuk “menyelamatkan anak” misalnya anak yang sedang “berkeliaran” di jalan, agar si anak tadi bisa dibawa dan dibantu menjalani proses pendidikan gratis serta memperoleh hak-haknya berdasarkan hukum. Mestinya, polisi dan satpol PP demi hukum harus melindungi dan membantu petugas Lembaga Perlindungan Anak. selain itu, Lembaga Perlindungan Anak mestinya memiliki kapasitas hukum untuk membawa perkara penelantaran anak ke Pengdilan, untuk mengajukan pelepasan kuasa asuh orang tuanya.

(Ditulis oleh Johny Nelson Simanjuntak, Komisioner Komnas HAM 2007-2012; Advokat dan pegiat Perlindungan Anak; Salah satu relawan Sahabat Anak; Tinggal di Solo dan Jakarta)